Sabtu, 01 Agustus 2009

Sindrom Bingung

Sumbo Tinarbuko



Sedih rasanya setiap kali mendengar lagu Rayuan Pulau Kelapa di penghujung akhir acara TV. Lagu tersebut semakin menyayat hati manakala melihat Indonesia sebagai sebuah negara merdeka berdaulat terlihat bingung, limbung, dan canggung di tengah percaturan masyarakat dunia.

Kasus Ambalat, kekerasan kepada para TKW yang dilakukan majikannya di luar negeri. Pengeroyokan dan pembunuhan mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri, adalah sedikit contoh yang menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki taji kewibawaan di tengah percaturan pergaulan diplomasi tingkat dunia.

Di dalam negeri pun, sebagian besar rakyat Indonesia terancam hak hidup dan kehidupannya akibat pemerintah tidak sepenuhnya menciptakan perikehidupan yang nyaman, aman, dan tentram hidup di tanah Indonesia. Ditengarai rakyat semakin sulit menemukan realitas sanctuary: sebuah wilayah, tempat publik berlindung dalam suasana sejuk, nyaman, dan aman.

Atas semua realitas sosial yang memprihatinkan itu, rakyat Indonesia yang hidup di alam jamrud katulistiwa hanya mampu menggumamkan seloka berjuluk tanya kenapa. Kata ‘tanya kenapa’ mencuat sebab diposisikan sebagai representasi kebingungan komunal akibat ketidakstabilan dan ketidapastian makna sebuah kehidupan di jagat Indonesia.

Secara ekonomi, sosial, dan budaya rakyat selalu kebingungan merasakan kenaikan harga sembako. Ketika kenaikan harga sembago belum bisa dikendalikan pemerintah, rakyat dibuat bingung lagi dengan membumbungnya dana kesehatan dan biaya pendidikan yang senantiasa menjadi perkara klasik setiap tahun ajaran baru.

Saat harga kebutuhan pokok membumbung tinggi yang diikuti dengan dana kesehatan dan biaya pendidikan, rakyat pun semakin bingung untuk menafkahi dirinya sendiri, berikut anak istrinya yang menjadi tanggungan hidup sesuai janji perkawinannya dulu. Artinya pada sudut ini, rakyat semakin bingung untuk meraih sebuah kehidupan yang sejahtera dalam konteks paling minimal sekali pun.

Ketika ketidaksejahteraan alias kemiskinan, dan tingginya jumlah angka pengangguran yang selalu bergelayut di langit kehidupan rakyat Indonesia, maka arah angin ketidakpuasan pada pemerintah akan selalu berhembus keras.

Fenomena kebingungan yang dialami bangsa Indonesia semakin mencapai puncaknya ketika parapakar yang diharapkan mampu memberikan aksentuasi positif guna mengatasi permasalahan carut marut, ternyata realitas di lapangan menyebutkan, parapakar hanya pandai membuat sukar. Segala suatu seharusnya mudah dikerjakan, di tangan parapakar justru dibuat sedemikian rupa supaya terlihat sukar. Demikian pula ulah paracerdik pandai. Mereka lebih cerdik mencerdiki rakyat yang tidak cerdik dengan berbagai pendapat dan teori ilmiah yang tidak membumi, sulit diaplikasikan secara menyeluruh dan menjangkau benak masyarakat luas.

Parapolitisi, wakil rakyat, dan pejabat publik pun setali tiga uang. Mereka sangat cerdik mengembangkan pola-pola egoisme pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Warga terhormat yang dipercaya mengelola tatanegara senantiasa mengaplikasikan konsep kekuasaan adigang, adigung, adiguna dengan tatastruktur rapi. Pengejawantahannya, lebih mengedepankan sikap arogan karena mereka merasa paling baik dan selalu benar.

Ketika sikap hidup elit politik dan pejabat publik sebagai makhluk individual lebih ditonjolkan, maka tidak pernah ada jalan tengah untuk mengakhiri konflik egoisme prinsip yang tidak berprinsip. Ujung-ujungnya rakyat bingung karena merasa tidak terjamin kesejahteraan hidupnya, serta terwakili aspirasi dan harkat kepentingannya.

Akhir-akhir ini, kebingungan-kebingungan itu semakin merajalela ditengarai karena kita menjelma menjadi bangsa yang kurang memiliki rasa percaya diri terhadap potensi dan kekuatan dirinya sendiri. Bangsa ini semakin nyata menjadi bangsa yang bingung karena jiwa dan kepribadiannya sangat lemah akibat ketergantungan pada pihak asing yang senantiasa diposisikan sebagai dewa penyelamat yang konon mampu mengatasi segala permasalahan di bumi Indonesia ini.

Manakala bangsa Indonesia dilanda sindrom kebingungan, ironisnya kita justru lebih suka berpikir instan dan pragmatis. Rakyat lebih senang bersiasat jangka pendek dengan menisbikan jalinan sebuah proses. Padahal sebuah proses – apapun bentuk dan pengejawantahannya – sejatinya adalah pilihan wajib yang harus dilakukan oleh siapapun dalam mengisi hidup dan kehidupan ini. Pada titik seperti inilah, terlihat dengan gamblang, bangsa Indonesia yang sedang dirundung kebingungan ternyata gampang meninggalkan aspek moralitas, spiritualitas, adat istiadat, dan kearifan lokal yang sejujurnya menjadi penjaga gawang nurani untuk berbuat dan bertindak sesuai kepribadiannya sendiri secara mandiri dan merdeka.

Rakyat Indonesia cenderung terlihat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jatidiri. Kita dihipnotis menjadi keledai dungu, dikendalikan negara asing yang menjajah secara ekonomi dan ideologi.

Kita menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Kita lebih suka menjadi bangsa konsumen dengan mengandalkan seluruh pemenuhan kebutuhan hidup melalui aktivitas impor. Kabar terakhir menyebutkan, kita mulai impor garam dan ikan laut dari luar negeri. Sementara Indonesia adalah negara maritim yang memiliki kekayaan laut yang sedemikian besar, tetapi kenapa untuk garam dan ikan laut kita mesti impor? Hayo tanya kenapa?

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Pegiat Studi Kebudayaan
dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 6 Juli 2009.

Jumat, 13 Maret 2009

Peluncuran Buku Ketiga Sumbo Tinarbuko ‘’Iklan Politik dalam Realitas Media’’



Peluncuran Buku Ketiga Sumbo Tinarbuko ‘’Iklan Politik dalam Realitas Media’’ terbitan penerbit Jalasutra 2009, di Gedung JEC Yogyakarta, 13 Maret 2009:

Setiap akan diadakannya Pemilihan Umum Legislatif atau Presiden, perhatian, pikiran dan enerji para elit politik dicurahkan untuk menyiapkan kampanye politik, mengadakan konsolidasi, mengunjungi tempat-tempat umum, menemui rakyat kebanyakan, membagikan pamflet dan kartu nama, memasang foto diri di jalanan, mengirim pesan singkat ke masyarakat, mengaktifkan website, berbicara di radio-radio dan memasang iklan diri di media elektronik.

Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik—terlepas dari kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik yang dimilikinya—seakan menjadi sebuah ‘mantra’ yang menentukan pilihan politik. Melalui ‘mantra elektronik’ itu persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Politik kini menjelma menjadi ‘politik pencitraan’, yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik—the politics of image.

Terkait dengan itu, Sumbo Tinarbuko menyusun tulisan seputar iklan politik yang dibukukan oleh penerbit Jalasutra Yogyakarta dengan judul ‘’Iklan Politik dalam Realitas Media’’. Buku ketiga Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta ini akan diluncurkan pada 13 Maret 2009, jam 15.00 di gedung JEC Yogyakarta, bersamaan dengan pameran buku tingkat nasional yang diselenggarakan oleh IKAPI.

Berikut ini tulisan Yasraf Amir Piliang yang merupakan guru bangsa sekaligus sahabat Sumbo Tinarbuko yang berkenan menuliskan kata pengantar bukunya, sebagai berikut:

Narsisisme Politik: Banalitas, Simplisitas dan Minimalitas
Oleh Yasraf Amir Piliang

Bagaimanakah kecenderungan narsisisme, simplisitas dan nihilisme dalam dunia politik bangsa di atas, memberikan implikasi pada iklan politik—baik iklan cetak maupun televisi—sebagai bentuk komunikasi politik dominan abad informasi, serta bagaimana ia berkaitan dengan aspek-aspek desain komunikasi visual? Jelas, desain komunikasi visual mempunyai peran sangat sentral dalam merumuskan komunikasi politik abad informasi, karena melalui citra-citra visual itulah pesan-pesan politik secara efektif dapat disampaikan.

Akan tetapi, di dalam iklim komunikasi politik yang penuh muatan manipulasi, retorika, seduksi, narsisisme, simplisitas, banalitas dan ‘sampah visual’ macam itu, konstituen politik dan masyarakat politik pada umumnya cenderung dimanfaatkan sebagai ‘alat’ perburuan kekuasaan semata, dengan memanipulasi pikiran, kesadaran, emosi dan persepsi mereka, tetapi sama sekali tidak ada reward bagi mereka, berupa pencerdasan, pengetahuan dan pencerahan politik. Dalam kondisi asimetris macam ini, massa politik digiring untuk menjadi ‘mayoritas tak-kritis’ (uncritical majorities).

Dalam kondisi politik tanpa pencerahan dan daya kritis di atas, kehadiran buku Sumbo Tinarbuko, Iklan Politik Dalam Realitas Media, mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun kembali ‘kesadaran kritis’ (critical consciousness) tersebut, yang secara sistematis dirusak dan dihancurkan dalam wacana politik mutakhir yang penuh manipulasi. Hanya melalui kesadaran kritis itulah, masyarakat politik dapat lebih cerdas membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, citra dan substansi, penampilan luar dan kapasitas diri, ilusi dan realitas politik.

Iklan politik, sebagaimana dikemukakan dengan menarik di dalam buku ini, tidak ada bedanya dengan iklan komersial, yang di dalamnya antara gemerlap citra-citra yang ditampilkan dan realitas yang sesungguhnya terdapat jurang yang dalam. Citra-citra tentang ‘cinta rakyat kecil’, ‘peduli orang miskin’, ‘sahabat petani’, ‘peduli pendidikan’ atau ‘pembela nurani bangsa’ tak lebih dari citra-citra indah dan menyilaukan, yang berputar-putar di dalam ruang pertandaan dan semiotik (the semiotic space), tetapi tak pernah menyentuh dan direalisasikan di dunia kehidupan nyata.

Buku ini secara cerdas mencoba merelasikan iklan politik sebagai sebuah ‘realitas kedua’ (second reality) dengan aspek-aspek komunikasi visual yang berperan membangun citra-citra di dalamnya, serta relasi-relasi sosial dan kultural yang terbangun. Penyertaan pandangan beberapa pakar komunikasi politik tentang iklan politik di dalam buku ini, dapat mempertegas lukisan realitas komunikasi politik yang ada. Melalui lukisan komprehensif itulah, pada akhirnya, penulis buku ini mengajak kita untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik yang ideal, yang bila tak mampu dilakukan akan menggiring pada kondisi ‘kematian iklan politik’. Selamat berimajinasi!.

•••

Rabu, 25 Februari 2009

Malioboro Oh Malioboro

Sumbo Tinarbuko




Judul anggitan di atas meminjam judul kolom ‘’SMS Aja’’ Radar Jogja (22/2/2009) yang dikirim nomor HP 62817463xxx. Di sana dituliskan ‘’Malioboro oh Malioboro, sungguh memprihatinkan jalan-jalan di Malioboro, bekas bungkus nasi dll, kencing kuda, bikin kumuh, jijik bila dipandang, mohon pihak pemda yg berwenang untk menatanya, terima kasih.’’

Sementara itu, Radar Jogja (20/2/2009) membuat liputan berjuluk ‘’Malioboro (Mulai) Turun Klas. Jika Dibiarkan Tak Menarik Lagi’’. Dalam liputan itu dituliskan: ‘’Kawasan Malioboro yang menjadi ikon Kota Jogja saat ini dinilai turun klas. Kawasan legendaris ini akan semakin tidak menarik lagi jika sejak sekarang tidak mulai ditata kembali ...’’

Kesan seperti kiriman uneg-uneg ‘’SMS Aja’’ dari nomor HP 62817463xxx dan liputan Radar Jogja di atas segera menyeruak di dalam benak kita manakala memasuki poros Malioboro. Sebuah kawasan yang menjadi trademark dan ikon kota Yogyakarta. Bayangan tersebut di atas mencapai puncaknya ketika liburan panjang menjelang. Atau minimalnya, setiap Jum’at sore, Sabtu, hingga hari Minggu malam.

Nostalgia Romantisme Malioboro

Para konsumen dan produsen Malioboro itu ‘’menjajah’’ tubuh Malioboro dengan beberapa aktivitas klasik. Mereka di antaranya bernostalgia mengenang romantisme Malioboro di masa lalu. Atau mereka ingin melihat Malioboro seutuhnya sebagai sebuah kawasan wisata belanja khas Yogyakarta. Di sela-sela menikmati Malioboro dari berbagai sudut pandang, para konsumen itu biasanya jalan-jalan sambil jajan dan belanja.

Mereka menyusuri jalan panjang nan lurus mulai dari rel keretapi Stasiun Tugu sampai Alun-Alun Utara Kraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Di sepanjang jalan kenangan Malioboro tersebut banyak dijumpai pedagang kakilima. Di sebelah Barat atau kanan jalan (dilihat dari sisi Utara) berjajaran pedagang cenderamata, mulai dari daster batik, berbagai kaos, oblong, bandana, celana gombrong, blangkon, surjan, sandal kulit, ikat pinggang, hiasan dinding, pernak pernik perhiasan imitasi, sampai kerajinan tangan dari perak.

Sedang di sisi Timur bertebaran pedagang lesehan, warung maupun angkringan. Antara lain tersaji makanan lesehan gudeg, sambel goreng, burung dara goreng, ayam goring, bakso, mie ayam, mie jawa, wedang ronde, wedang bajigur, es campur, es dawet, es buah, salak pondoh, geplak, bakpia, welut goreng, peyek welut.

Pada aktivitas jalan-jalan ini, para konsumen Malioboro biasanya orang sukses, dan orang kaya yang ingin membeli kenangan lama Jogjakarta dengan aktivitas memborong barang-barang yang dijajakan di sepanjang Malioboro. Menurut mereka, barang-barang khas kota Jogjakarta mempunyai nilai prestise tersendiri dalam konteks makna nostalgia.

Berdasarkan asumsi tersebut para konsumen lalu berbondong-bondong menyerbu Malioboro dengan berbagai kendaraan bermotor. Yang terjadi kemudian, lalulintas jalan Malioboro semrawut dan macet total. Antrean panjang menjadi ‘’binatang’’ aneh yang kita saksikan ketika menuju ke sana.

Dampaknya, polusi asap kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas itu menyesakkan dada, suasana menjadi panas, pejalan kaki sulit menyeberang, dan bikin pusing kepala.

Sementara itu, pedagang kakilima dan pedagang kakilima tiban ditengarai ikut menyebabkan Malioboro mendapatkan nilai merah sebab secara geografis tidak menarik lagi. Mereka, para pedagang kakilima dan pedagang kakilima tiban mendirikan tenda dan menempatkan gerobag dagangannya secara sembarangan di sepanjang trotoar. Pemasangan tenda dan penempatan gerobag dagangannya hanya menurut kata hati pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan publik pejalan kaki. Dengan sengaja pedagang kakilima tiban ini mengusur kenikmatan pejalan kaki berjalan menyusuri Malioboro.

Mereka juga ditengarai sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kumuh, bau, dan kotornya wajah Malioboro akibat sampah makanan sisa-sisa dagangan yang dibuang sembarangan dan limbah air kotor yang menggenang di sepanjang trotoar. Mereka dicap kurang mampu menjaga kebersihan, keindahan dan kenyamanan kota Jogjakarta.

Di balik semuanya itu, yang pasti kawasan Malioboro adalah aset dan sampai sekarang masih menjadi primadona para wisatawan yang berkunjung ke Jogjakarta. Bahkan sampai muncul mitos, serasa belum sampai Jogjakarta kalau belum menginjakkan kaki dan menghirup udara Malioboro. Dengan demikian, meski pun Malioboro dibenci dan dicaci maki, tetapi keberadaannya tetap dirindukan.

Tentang keluhan masyarakat terkait dengan kawasan Malioboro yang tidak nyaman, kumuh dan menjijikan, sebenarnya sudah sampai ke telinga Walikota Jogjakarta, Herry Zudianto. Ia juga merasa jengkel dengan keadaan Malioboro carut marut seperti itu. Kepada pers beberapa waktu lalu, orang nomor satu di Kodya Jogjakarta ini mengakui bahwa ia merasa terkecoh. Pasalnya, empati Herry Zudianto terhadap pedagang kakilima ternyata tidak diimbangi dengan sikap disiplin untuk saling menjaga kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kawasan Malioboro secara bersama-sama.

Usulan Atasi Kesemrawutan Malioboro

Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengatasi kesemrawutan dan kemacetan lalulintas Malioboro akibat serbuan para wisatawan? Selain itu, bagaimana menghilangkan kesan kotor, bau, dan kumuh di sepanjang Malioboro?

Mungkinkah menutup ruas jalan Malioboro bagi seluruh kendaraan bermotor (kecuali pemadam kebakaran dan ambulance) selama hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, mulai pukul 12.00-24.00.

Jika jawabnya mungkin, maka seyogianya, Pemkot Jogjakarta bersama pihak swasta membuat lahan parkir yang representatif, aman dan nyaman guna melokalisir kendaraan bermotor yang akan masuk Malioboro. Sebagai gantinya disediakan kendaraan tidak bermotor: andong, becak, sepeda, sebagai alat transportasi sepanjang Malioboro dengan tarif tertentu. Bagi tukang parkir sepanjang ruas jalan Malioboro disarankan untuk alih profesi sebagai tukang becak, kusir andong atau tukang ojek sepeda yang melayani pengunjung dari taman parkir menuju Malioboro.

Keuntungan dari strategi ini, polusi asap knalpot bisa ditekan seminim mungkin. Kursi dan tetamanan sepanjang Malioboro niscaya pemanfaatannya lebih optimal. Dengan demikian akan tercipta sebuah taman rekreasi bagi masyarakat yang asri dan artistik. Hadirnya hembusan udara segar bebas polusi. Kawasan trotoar yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki serta surga wisata belanja yang representatif.

Jika hal itu terwujud, maka sebenarnya Pemkot Jogjakarta telah dengan bijak memberikan kesempatan kepada warga masyarakat, para konsumen dan produsen yang ada di Malioboro dan sekitarnya untuk berinteraksi secara aman, menyenangkan dan saling menguntungkan secara ekonomi bagi kedua belah pihak.


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual
dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Matinya Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko




Ketika kita menyaksikan iklan politik yang bertebaran di berbagai jagad media luar ruang, media massa cetak, dan elektronik, sebenarnya kita sedang melihat upaya keras para caleg dan kandidat presiden merelasikan iklan politiknya sebagai sebuah realitas kedua. Bangunan realitas kedua tersebut ditopang dengan aspek-aspek komunikasi visual, relasi-relasi sosial dan kultural yang berperan membangun pencitraan dirinya.


Para caleg dan kandidat presiden mengemas pencitraan dirinya, lewat citraan visual dengan menekankan pesan verbal yang bertemakan: ’peduli wong cilik’, ‘peduli orang miskin’, ‘peduli kesehatan bagi rakyat miskin’, ‘peduli produksi dalam negeri’, ‘peduli dengan nasib petani’, ‘peduli pendidikan murah dan gratis’ atau ‘peduli dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Semuanya itu merupakaan janji politik yang terlihat indah dan menentramkan hati calon pemilih. Tetapi realitasnya sulit untuk direalisasikan di kehidupan nyata.


Secara teoretis, proses pencitraan para caleg dan kandidat presiden yang dilukiskaan lewat iklan politik, sejatinya mengajak kita untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik ideal. Sayangnya, hal tersebut jauh pasak dari pada tiangnya. Yang terjadi kemudian kita sedang menonton iring-iringan jenazah kematian iklan politik.


Fenomena matinya iklan politik di tengah calon pemilih yang semakin kritis dan apatis telah terlihat realitasnya di lapangan. Kematian iklan politik ditandai dengan perlombaan visual yang dilakukan para caleg dan kandidat presiden lewat upaya tebar pesona demi menarik simpati massa. Untuk itu, mereka memanfaatkan kedahsyatan media iklan guna mengakomodasikan pencitraan dirinya. Karena meyakini kedahsyatan mitos media iklan, maka mereka pun secara jor-joran memroduksi pesan verbal dan pesan visual iklan politik. Untuk itu, iklan koran, televisi, dan radio disebarkan secara bersamaan ke ruang privat calon pemilih. Media iklan luar ruang pun tidak ketinggalan dipasang di sepanjang jalan yang dianggap strategis.


Kematian iklan politik semakin mendekati liang lahatnya manakala tim sukses para caleg dan kandidat presiden, secara membabi-buta melakukan aktivitas kampanye yang cenderung memroduksi sampah visual. Bahkan di dalam segala sepak terjangnya, anggota tim sukses peserta kampanye Pemilu 2009 dinilai mengarah pada perilaku teror visual dengan modus operandinya menempelkan dan memasang sebanyak mungkin billboard, baliho, spanduk, umbul-umbul, poster, dan flyer tanpa mengindahkan dogma sebuah dekorasi dan grafis kota yang mengedepankan estetika kota ramah lingkungan. Anggota tim sukses cenderung mengabaikan ergonomi pemasangan media luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif.


Pola pemasangan, cara menempatkan, dan menempelkan atribut kampanye, benar-benar bertolak belakang dari esensi desain media luar ruang yang dirancang sedemikian rupa agar tampil menarik, artistik, informatif, dan komunikatif. Tetapi di tangan orang-orang yang bertugas memasang dan menempatkan reklame luar ruang, karya desain yang bagus itu berubah fungsi menjadi seonggok sampah visual. Di tangan orang-orang perkasa seperti itulah, iklan politik menemui ajalnya dengan sangat menyedihkan.


Modus operandi pemasangan media iklan luar ruang yang dilakukan secara serampangan dan ngawur seperti itu, cenderung menurunkan citra, kewibawaan, reputasi, dan nama baik para caleg dan kandidat presiden, yang mempunyai cita-cita mulia untuk membangun Indonesia agar rakyatnya bermartabat, berkehidupan makmur, aman dan sejahtera. Perilaku hantam kromo semacam itu menyebabkan iklan politik yang diposisikan untuk memberikan informasi perihal keberadaan caleg, kandidat presiden dan partai politik peserta Pemilu 2009, segera diluncurkan menuju ajal kematiannya dengan tidak terhormat.


Membicarakan masalah iklan politik terutama dalam konteks iklan luar ruang, rasanya tidak pernah tuntas. Ketidaktuntasan seperti inilah yang menyebabkan nafas iklan politik kehilangan denyutnya. Dimanakah simpul sengkarutnya? Sejatinya, inti permasalahan dari carut marut jagat reklame luar ruang ini (termasuk iklan politik) bersumber pada penentuan titik penempatan dan pola pemasangan yang semrawut dan ‘’penuh kebijakan’’ dengan menerapkan standar ganda.


Pada titik ini, seyogianya pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan kota secara tegas menertibkan keliaran iklan politik liar. Langkah pertama yang perlu dilakukan, yakni pemerintah bersama instansi terkait berani menurunkan, membongkar, dan melepaskan iklan politik luar ruang yang menyalahi peruntukannya berdasar masterplan iklan luar ruang dan Undang-undang yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan kota.


Kedua, menerapkan sanksi dan hukuman yang sepadan bagi parapihak yang bertugas memasang reklame luar ruang iklan politik apabila diketahui melanggar aturan pemasangan. Ketiga, memberikan sanksi dan hukuman yang adil bagi biro iklan, event organizer, pengusaha media luar ruang, tim sukses caleg, dan kandidat presiden yang kedapatan melanggar pola pemasangan dan penempatan media luar ruang iklan politik. Keempat, ada keseragaman perangkat hukum dan kesamaan persepsi terkait dengan penempatan dan pemasangan reklame media luar ruang iklan politik.


Jika hal itu bisa disinergikan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, maka peserta kampanye Pemilu 2009 telah melaksanakan tanggung jawab moral dan sosial secara sempurna. Mereka secara terhormat telah memberikan pendidikan politik dengan elegan. Mereka secara terhormat pula telah berhasil mengajak masyarakat luas, sebagai calon pemilih, untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik yang ideal. Dan iklan politik pun tidak akan layu kemudian mati, melainkan justru akan tumbuh berkembang bagaikan bunga flamboyan yang bermekaran dan menjadi penanda zaman yang mencatat kemasyurannya penyelenggaraan Pemilu 2009.



*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/), adalah Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Penulis Buku ‘’Iklan Politik dalam Realitas Media’’, Penerbit Jalasutra 2009

Vandalisme Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko




Belakangan ini teror vandalisme dan perusakkan iklan politik menjadi semacam bentuk perlawanan baru, atas penjajahan ruang publik yang dilakukan para peserta kampanye Pemilu 2009. Beberapa baliho dan rontek para caleg diberi aksentuasi sangar dengan semprotan cat semprot berbentuk taring dan tanduk. Tidak hanya berhenti sampai di situ, coretan garis zig-zag pun diterakan di wajah caleg. Yang paling dahsyat, wajah sang caleg dihilangkan secara visual dengan sayatan pisau cutter.

Kenapa alat peraga kampanye berbentuk baliho dan rontek milik para caleg peserta Pemilu 2009 dirusak secara membabi buta? Ada beberapa alasan yang terlihat dari maraknya teror vandalisme dan perusakan iklan politik di sepanjang kawasan yang dianggap strategis. Di antaranya, pertama, kejenuhan masyarakat akan banyaknya iklan politik yang menyesaki ruang publik. Semua iklan politik yang ditancapkan di seantero ruang publik berlomba menampilkan ukuran besar dan menempatkannnya setinggi mungkin.

Semua iklan politik yang dipasang tampil paritas dengan menyampaikan monotisme pesan verbal-visual. Pesan visual yang didedahkan berbentuk: dunia simbol dengan menampilkan wajah caleg sedang mengumbar senyuman narsis, lewat tampilan visual dirinya yang ganteng, cantik, cerdas dan, agamis. Sedang pesan verbal yang dituliskan berwujud: jagat instruksional berbentuk tebaran janji, yang katanya akan memikirkan kepentingan rakyat, agar berkehidupan lebih baik. Ujung pangkal dari pesan verbal tersebut: ‘’contrenglah saya dengan nomor urut sekian, dari partai politik nomor sekian’’. Pendeknya, semua pesan verbal visual berisi perintah untuk memilih dirinya, tanpa kecuali.

Pada titik inilah, sejatinya mereka gagal menggabungkan jagat simbol dengan masalah substansial dari masing-masing caleg dan parpol. Mengapa? Karena tampilan visual verbalnya lebih didominasi wajah para caleg, logo, serta nomor urut partai politik peserta Pemilu.

Akibat kegagalannya menjahit jagat simbolisasi dan dunia substansi itulah, maka visualisasi iklan politik bagaikan orang kelaparan yang secara rakus ingin memasukkan segala macam makanan, ke dalam mulutnya. Akhirnya muncullah berbagai mozaik gambar dan teks yang penuh sesak dan kumuh. Dengan demikian, secara umum iklan politik tidak terfokus pada permasalahan yang seharusnya dipecahkan dengan pendekatan win-win solution. Ironisnya lagi, masih banyak caleg dan pengurus partai politik kurang mampu mengomunikasikan visi misi partainya secara proporsional, persuasif, dan komunikatif.

Kedua, kampanye besar-besaran para caleg memicu ulah iseng beberapa orang. Keisengan itu muncul akibat dari hilangnya ruang publik, yang setiap harinya menjadi tempat reriungan antar warga masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat sangat membutuhkan ruang publik yang hijau, teduh, nyaman, dan aman. Khalayak luas mendambakan ruang publik yang dapat digunakan untuk reriungan tanpa terusik dengan kehadiran iklan politik yang senantiasa mendedahkan kesemrawutan visual. Sebab dengan bertaburnya hutan reklame iklan politik yang menancapkan taringnya di berbagai sudut ruang publik strategis, ditengarai memendam potensi bencana visual, manakala angin lesus disertai hujan deras menyetubuhi permukaan bumi tercinta ini.

Untuk itulah perlu gerakan bersama menghilangkan kesemrawutan visual. Cara pragmatis yang gampang laksanakan, yakni menekan seminimal mungkin limbah produksi sampah visual iklan politik. Langkah terhormat yang dapat dilakukan para caleg bersama tim suksesnya: dengan memasang iklan politik berpedoman pada moralitas, keseimbangan lingkungan hidup, ekologi visual, dan mengedepankan kearifan budaya lokal.

Salahkah ulah iseng yang dilakukan sebagian masyarakat yang membuahkan vandalisme iklan politik? Masalahnya bukan pada kata ‘salah’ atau ‘benar’. Melainkan, persoalannya terletak pada hukum sebab akibat. Para caleg melakukan aktivitas kampanye yang menyebabkan merimbunnya sampah visual. Akibatnya, secara kasat mata, mereka yang melakukan aktivitas negatif seperti itu, karena mulai habis kesabaraannya melihat sampah visual yang diproduksi para caleg narsis. Keisengan semacaam itu merupakaan manifestasi dari sebuah bentuk perlawanan diam sebagian masyarakat. Mereka bosan dengan perikehidupan sosial politik yang penuh janji-janji gombal tanpa membawa perubahan berarti dalam perikehidupan sehari-hari.

Sejatinya, pada kasus vandalisme iklan politik ini, para caleg dan parpol peserta Pemilu 2009 harus rela menjalani hukum karma. Hukum alam semacam itu harus rela diterima para caleg akibat ulahnya sendiri. Para caleg berikut tim suksesnya sejak awal perhelatan kampanye senantiasa mendzalimi masyarakat dengan menjajah ruang publik untuk kampanye kepentingannya sendiri. Mereka memasang alat peraga kampanye dengan memaku batang pohon untuk menyandarkan baliho dan ronteknya. Mereka menancapkan bendera parpol dan memasang iklan politik bergambar wajahnya di rumah dan pekarangan warga masyarakat tanda izin dari pemiliknya.

Aktivitas egois dari para caleg dan tim sukses semacam itu, dapat dikategorikan sebagai vandalisme ruang publik yang dilakukan para caleg dan partai politik.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Pengarang Buku ‘’Iklan Politik dalam Realitas Media’’, Penerbit Jalasutra, 2009

Selasa, 13 Januari 2009

Korporasi Pendidikan

Sumbo Tinarbuko




Ontran-ontran Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) merebak di mana-mana. Beberapa kota besar di Indonesia yang memiliki lembaga pendidikan tinggi formal, mengggelar aksi demonstrasi menentang UU BHP. Para mahasiswa dan aktivis pendidikan berunjuk rasa guna
mengekspresikan kekecewaannya pada pemerintah dan DPR RI yang mengesahkan UU BHP tersebut.

Kenapa DPR RI dengan sangat arogannya mengetok palu dan mengesahkan UU BHP untuk segera diundangkan? Ada banyak hal yang tidak transparan dalam konteks ini. Dugaan yang terlihat di depan mata, DPR RI ingin segera menikmati uang lelah atas jerih payahnya merancang UU BHP bersama pemerintah. Ujungnya, DPR dinilai telah mengkhianati rakyat dengan meloloskan UU BHP, yang jelas-jelas mengarah pada komodifikasi dan komersialisasi pendidikan.

Selain itu, UU BHP dinilai waktunya tidak tepat dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Kenapa? Sebab dengan diundangkannya UU BHP, setidaknya ada tiga malapetaka yangakan muncul. Pertama, diduga akan terjadi pengotakan status sosial ekonomi antara mahasiswa yang masuk lewat jalur ekstensi dan nonreguler, dengan jalur regular. Selain itu ada ketakutan terhadap sikap dosen yang pilih kasih ketika mengajar akibat dari sistem penggajian yang berbeda.

Kedua, point ini lebih menakutkan, karena institusi pendidikan akan berlomba-lomba mencari uang guna membiayai kegiatan akademik. Sumber keuangan yang gampang didapatkan tentu berasal dari mahasiswa atau calon mahasiswa. Hal itu dilakukan oleh penyelenggara pendidikan, karena lembaga tersebut diminta untuk mandiri. Dengan demikian, RUU BHP dikondisikan menjadi payung hukum bagi praktik liberalisasi pendidikan. Kondisi semacam ini jelas bertentangan dengan UUD 1945. Karena di dalam UU BHP disebutkan masyarakat ikut menanggung biaya pendidikan. Padahal, pendidikan seharusnya ditanggung pemerintah. Artinya, dengan lahirnya UU BHP yang disahkan DPR RI 17 Desember 2008 lalu, merupakan bentuk pengingkaran pemerintah terhadap kewajiban untuk mencerdaskan rakyat.

Ketiga, masyarakat kehilangan harapan akan pendidikan murah dan mudah diakses setelah disahkannya perundang-undangan tersebut.

Mereka yang kontra atas keberadaan UU BHP menilai undang-undang tersebut lebih menitik beratkan pada komersialisasi pendidikan. Mereka berasumsi, UU BHP melegalkan komodifikasi pendidikan. Di dalam UU BHP, semuanya selalu ditakar dengan uang, demi menghasilkan laba keuntungan. Dengan demikian, aspek idealisme dari jagat pendidikan diubah orientasi menjadi institusi pendidikan laiknya sebuah perusahaan korporasi. Sebuah kongsi dagang yang menjual jasa pendidikan demi mencapai keuntungan finansial, seperti yang didoktrinkan jaringan kapitalisme global.

Sementara itu, pihak yang setengah pro dan separo kontra meragukan kemampuan pemerintah menutup biaya investasi dan beasiswa di berbagai perguruan tinggi.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas kepada pers mengatakan, pemerintah memilih jalan privatisasi pendidikan. Hal itu terlihat dari tata kelola, pengurusan kekayaan, dan pendanaan di bidang pendidikan yang tertuang dalam UU BHP. Semuanya itu menjadi titik pangkal pembentukan korporasi pendidikan.

Bagi lembaga pendidikan tinggi formal yang pro dengan UU BHP seakan mendapatkan permaklumannya dengan menerapkan biaya pendidikan tinggi yang mahal. Mereka mengatakan , ’’Ana rega, ana rupa (ada harga, ada barang)’’. Sayangnya, meski kemudian tercipta adagium pendidikan mahal, tetapi mutu pendidikan di Indonesia justru dinilai oleh parapihak tidak mendapatkan ranking.

Pada titik lain, dosen dalam konteks UU BHP tidak berfungsi lagi sebagai pembimbing, pembombong, dan pamomong, tapi diturunkan derajatnya menjadi tenaga kependidikan. Artinya, penamaan semacam itu, sama sebangun dengan buruh pabrik. Posisi tawarnya sangat rentan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tenaga kependidikan akan diputus kontraknya jika terjadi musibah kasus like and dislike, akibat beda pandangan dengan pejabat struktural akademik: mulai dari Ketua Prodi, Jurusan, Dekan berikut Pembantu Dekan I, II, III, atau Rektor.

Perlakuan yang sama juga diterapkan bagi mahasiswa. Calon intelektual muda itu pun diposisikan sebagai peserta didik yang menjadi objek korporasi pendidikan. Mereka yang tercatat sebagai peserta didik, harus rela merogoh koceknya sampai dasar saku celana, agar mampu membeli produk jasa pendidikan dari sebuah korporasi pendidikan yang dimasukinya.

Hasilnya? Peserta didik jadi robot korporasi pendidikan. Hal itu terjadi, akibat pendidikan di era UU BHP diposisikan sebagai komoditas. Bukan lagi transfer ilmu dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini muncul bayangan, nantinya, institusi pendidikan hanya berfungsi semacam ban berjalan dari sebuah pabrik pendidikan yang memproduksi tukang-tukang yang ahli di bidangnya. Tetapi bukan cendekiawan dalam arti sesungguhnya.

Apalagi ada kecenderungan dari peserta didik yang menyikapi pendidikan formal hanya sekadar ekskalator sosial. Sebuah medium yang mampu menjembatani dirinya, agar dapat meraih status sosial dengan terhormat dan gemilang. Mereka lebih menyukai kemasan-kemasan pikiran yang seragam sehingga nalar kreatif pun tenggelam oleh terpaan badai gaya hidup konsumtivisme, hedonisme, dan materialistis.

Hal itu terjadi, karena pendidikan tidak lagi terkait dengan berbagai upaya pengembangan intelektualitas, kebijaksanaan, dan moralitas. Padahal sejatinya, pendidikan adalah investasi sekaligus manifestasi dari upaya peningkatan kepribadian, akhlak, budi pekerti, dan budaya dalam arti luas.

Ketika lembaga pendidikan disulap menjadi korporasi pendidikan. Ketika korporasi pendidikan ditargetkan mengejar keuntungan finansial. Maka seketika itu juga, kegiatan belajar mengajar tidak dipandang lagi sebagai sebuah proses. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar pun tidak dilihat lagi sebagai sebuah runtutan upaya mengembangkan diri, melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Selanjutnya, sikap hidup untuk belajar dalam arti yang sebenarnya akan semakin luntur di dalam sanubari masyarakat. Sedih rasanya!


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta

Selasa, 23 Desember 2008

Perang Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko



Genderang kampanye pemilu 2009 sedang ditabuh. Telinga rakyat pun sudah terbiasa dengan tetabuhan yang bertalu-talu. Tetabuhan tersebut dianalogkan sebagai sebentuk penyampaian pesan verbal dan visual kampanye pemilu.

Gaung dari tetabuhan itu ditandai dengan upaya para caleg dan kandidat presiden berlarian menarik massa. Caranya? Tentu saja dilakukan secara instan. Kenapa instan? Karena para caleg dan kandidat presiden tidak dikenal oleh rakyat, calon pemilih. Untuk itu, upaya instan yang dilakukan guna mengakomodasikan pencitraan dirinya, satu-satunya jalur hanya lewat iklan politik. Mereka berpendapat, berbagai media iklan diyakini mempunyai kekuatan superkuat. Iklan politik dengan taburan pesan verbal dan pesan visual yang aduhai, dianggapnya mampu merayu perasaan terdalam dari sebagian besar calon pemilih.

Selanjutnya, perang wacana iklan politik pun digelar di seluruh Indonesia. Aktivitas peperangan yang dikordinasikan tim sukses caleg dan kandidat presiden, selalu memakai media iklan (: media tercetak, media massa cetak dan elektronik). Berbagai amunisi berupa pesan verbal dan visual diledakkan menggunakankan iklan koran, televisi, dan radio. Belum puas dengan itu, mereka pun menembakkan amunisi lainnya lewat baliho, spanduk, umbul-umbul, dan poster, kepada calon pemilih.

Pertanyaannya, apa yang Anda lihat ketika menyaksikan perang wacana iklan politik? Banyak pihak mengatakan, ‘’Kita melihat angka yang dituliskan sangat besar. Kita melihat foto wajah caleg dan kandidat presiden sangat besar. Kita melihat janji politik ditorehkan di atribut kampanye dengan font size yang sangat besar. Kita melihat baliho, poster, spanduk dan bendera dengan ukuran yang sangat besar. Pokoknya, kita melihatnya atribut kampanye pemilu serba besar. Saking besarnya, justru sulit dilihat’’.

Pertanyaan berikutnya, apakah janji yang besar, foto yang besar, dan ukuran alat peraga yang besar, mencerminkan kerja keras untuk mewujudkan karya nyata yang besar, demi menyejahterakan rakyat Indonesia yang besar ini?

Fenomena sosial berbentuk perang wacana iklan politik ini menggambarkan, betapa politisi Indonesia biasa berpikir instan. Iklan politik yang mereka sebar lebih mengedepankan wajah. Raut muka caleg dan kandidat presiden dijadikan komoditas yang dijual layaknya seorang artis. Dengan andalan visualisasi peci, deretan gelar akademik, dan aktivitas menyantuni orang miskin, diyakini mampu mencitrakan sosok caleg dan kandidat presiden yang agamis, intelek, dan perhatian kepada rakyat. Padahal, semua itu hanya tanda yang serba permukaan. Iklan politik dengan memajang wajah, mengindikasikan si pengiklan tidak merakyat. Mereka memosisikan dirinya bagaikan sebuah produk consumer goods yang layak diperjualbelikan. Mereka malah bagaikan seorang peserta kontes idol. Mereka tidak mengutamakan ideologi. Tetapi hanya sekadar idologi.

Efek dari perang wacana ini, Iklan politik pun cenderung menebar janji-janji normatif. Mereka tidak menyebutkan apa saja yang sudah mereka kerjakan, melainkan hanya mengumbar janji surga. Lebih parah lagi, slogan dan janji yang disampaikan sulit direalisasikan, jika mereka terpilih. Selain itu, apa yang dijanjikannya akan sangat merugikan rakyat yang sudah terlanjur percaya. Hal itu terjadi, karena janji dan slogan yang dituliskannya tidak ada ukurannya, alias abstrak

Dampak turunannya, tim sukses para caleg dan kandidat presiden cenderung melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 19 Tahun 2008 yang melarang pemasangan alat peraga kampanye di tempat ibadah, rumah sakit, lembaga pendidikan, jalan protokol, dan jalan tol. Penempatannya pun harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan sesuai dengan peraturan pemerintah daerah. Faktanya, banyak alat peraga kampanye berbentuk spanduk, baliho, poster, umbul-umbul para caleg sudah menjadi sampah visual. Membuat tata ruang kota riuh rendah. Kalau dibiarkan terus, akan menjadi teror visual.

Korban dari perang wacana iklan politik sudah terpampang di depan mata. Kegagalan iklan politik Rizal Malarangeng sebagai kandidat presiden 2009 membuktikan bahwa popularitas tidak terlalu memengaruhi elektabilitas. Popularitas seseorang harus dikuatkan dengan jaringan masyarakat di tingkat akar rumput. Jejaring semacam itu akan terpilin dengan rapi, jika puluhan tahun sebelumnya sudah berkarya nyata di tengah masyarakat. Tanpa itu, para caleg atau kandidat presiden hanya akan jatuh bangkrut, sambil menikmati mimpi menjadi anggota DPR atau Presiden di siang bolong.

Jika seseorang terjun ke politik dan ingin dikenal publiknya, dia harus mau kerja keras. Hasil kerja kerasnya itulah yang akan mengangkat namanya kelak. Tentu saja kerja keras itu bukan dalam hitungan bulan atau setahun sebelum pemilihan umum. Mereka sudah harus mulai bekerja sejak sekarang untuk pemilu 10-15 tahun mendatang.

Harus diakui, cara promosi paling efektif adalah dari mulut ke mulut. Beriklan itu penting karena beriklan sama dengan berinvestasi. Beriklan itu tidak sama dengan cara kerja petani yang menanam padi lalu 3-4 bulan kemudian panen. Beriklan terutama iklan politik seperti menanam pohon jati. Prosesnya lama dan setiap saat perlu perawatan intensif.

Bagi pemilih, iklan politik, apa pun bentuknya, hanyalah upaya memperkenalkan diri kepada publik. Hal yang lebih penting adalah kerja nyata. Bukan tampang, citra, apalagi sekadar nama tenar. Citra pemimpin sejati hanya dapat dibuktikan lewat perilaku, pola pikir, dan kinerja nyata.


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.